Penyebab Konflik di Keraton Surakarta Solo
UPDATENYA.com – Keraton Surakarta kembali geger sejak Senin, 26 Agustus kemarin saat KGPH PA Tedjowulan hendak dinobatkan sebagai Maha Menteri oleh Paku Buwono XIII. Lembaga Dewan Adat Keraton membubarkan paksa acara ini.
Menarik garis ke belakang, penyebab berbagai prahara di keraton yang terletak di Solo itu bermuara pada dualisme Raja Keraton Solo sejak 2005. Dua bersaudara, Tedjowulan dan Hangabeni, memperebutkan tahta setelah wafatnya Paku Buwono XII.
“Kemudian Gusti Tedjo itu menobatkan diri menjadi raja. Nah, itu sumber masalahnya,” kata Anggota Lembaga Dewan Adat, KRMH Satryo Hadinogoro.
Berbagai cara memang sudah dilakukan agar kedua raja ini rujuk. Pada tahun 2012 dilakukan rekonsiliasi keraton dengan dimediasi oleh Wali Kota Solo saat itu Joko Widodo. Saat itu, kedua raja islah. Tedjowulan legowo Hangabeni dinobatkan sebagai Paku Buwono XIII.
Rupanya, masih ada api di dalam sekam. Buktinya, saat peringatan naik takhtanya Raja (jumenengan) tahun 2012, kubu Tedjowulan diusir oleh Lembaga Dewan Adat. Pun saat tahun 2013, jumenengan juga malah tak dihadiri oleh PB XIII.
Geger terakhir terjadi Senin, 26 Agustus 2013. Niat Paku Buwono XIII melantik Tedjowulan sebagai Maha Menteri ditentang keras oleh Lembaga Dewan Adat.
Satryo melanjutkan kisahnya dengan kembali ke tahun 2005. Saat itu, imbuhnya, Gusti Tedjowulan bersama sentana dan pendereknya meninggalkan ndalem keraton. “Mereka pergi atas kemauan sendiri lantaran tak setuju dengan raja terpilih saat itu Hangabehi yang kini bergelar PB XIII,” tuturnya.
Menurut Satrio, sumber masalah keraton itu layaknya diselesaikan dengan aturan adat keraton yang sampai saat ini masih dijunjung dan dipelihara oleh keraton. Seperti halnya saat keraton dihadapkan pada konflik dualisme raja.
“Jadi siapa pun harus tunduk pada adat di dalam tembok (keraton). Sinuhun pun harus tunduk pada adat. Bukan kemudian mengambil keputusan sendiri. Semua ada mekanisme adat yang berlaku,” jelasnya.
Bagi Satryo, masalah dualisme ini tidak bisa diselesaikan dengan hanya permintaan maaf dari Gusti Tedjowulan lantaran sudah ke luar dari ndalem keraton dan menobatkan diri sebagai raja. Namun, Satryo enggan merinci solusi konflik keraton tersebut dari kaca adat keraton.
“Masalah minta maaf itu tidak penting. Tetapi yang lebih penting, secara ksatria tunduk kepada adat. Saya kira beliau (Gusti Tedjo) ini tahu bagaimana aturan adat yang harus dipatuhinya, ” ungkapnya.
Menurut Satryo, rekonsiliasi konflik dengan dimediasi Jokowi memang ada kekurangannya. Salah satunya adalah tidak melibatkan Lembaga Dewan Adat. “Jadi rekonsiliasi kemarin cuma omongan dari dua pihak, Dewan Adat nggak dilibatkan, ” ungkapnya.
Dia mengaku terbuka jika rekonsiliasi dilakukan kembali. Bahkan kemarin pihaknya sudah menemui Walikota Solo, FX Hady Rudyatmo untuk merancang rekonsiliasi lagi. “Semoga konflik keraton cepat usai, ” harapnya.(un/ade)
0 komentar:
Post a Comment